Sampai saat ini masyarakat Cirebon belum sepenuhnya mengetahui asal usul peninggalan sejarah yang ada di lingkungannya. Salah satunya situs petilasan Sunan Kalijaga.
Di kawasan tersebut ternyata memiliki banyak keistimewaan dan legenda yang hingga saat ini masih dipercaya masyarakat. Situs taman kera Kalijaga terletak di wilayah Kelurahan Kalijaga, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat. Dari terminal bus Harjamukti atau bandara udara Penggung Cirebon jaraknya hanya berkisar 600 meter ke arah Selatan.
Kawasan petilasan Sunan Kalijaga ini memiliki luas 120.000 meter persegi. Kawasan ini dilalui dua aliran sungai yang masing-masing mempunyai dua sampai tiga nama yang berbeda. Sungai dimaksud adalah Kali Simandung dan Kali Masjid, yang alirannya kemudian bertemu di Kali Cawang. Kali ini oleh masyarakat setempat digunakan untuk mandi dam cuci pakaian. Dahulu kala, kali ini juga dapat digunakan untuk wudu.
Pada kawasan itu terdapat bangunan petilasan, sumur kuno, masjid keramat, makam dan selebihnya berupa semacam hutan lindung yang dihuni kera. Bangunan petilasan Kalijaga oleh penduduk setempat disebut Pesarean (dari kata Jawa yang berarti tempat beristirahat). Bangunan ini berdenah bentuk huruf L terdiri tiga ruangan. Ruangan pertama merupakan tempat bagi para peziarah untuk memanjatkan doa, yang dapat dimasuki melalui pintu pertama yang disebut pintu bacem.
Ruang kedua merupakan tempat beberapa makam kuno, dan ruangan ketiga merupakan bekas tempat tidur Sunan Kalijaga yang ditutup dengan kelambu. Pada sebelah barat bangunan terdapat makam pengikut dan kerabat Sunan Kalijaga. Bagian ini dibatasi dengan dengan kuta kosod (susunan bata merah) setinggi 1.120 cm dan tebal 190 cm.
Konon menurut sejarah, ketika Cirebon dikuasai Belanda, lokasi ini pernah dijadikan tempat pertemuan para panglima perang Kesultanan Kanoman, Kasepuhan, dan Mataram untuk menyusun strategi melawan mereka. Bangunan masjid keramat di kompleks petilasan Sunan Kalijaga dahulu dindingnya terbuat dari kayu dan aber atap daun kelapa.
Sekarang sudah diganti dengan dinding bata diplester dan beratap genting. Di pinggir kali dekat masjid terdapat sumur kuno. Konon sumur kuno ini umurnya sudah mencapai ratusan tahun. Sumur ini juga disebut sumur wasiat.
Di dekat Kali Simandung terdapat makam keramat dengan tokoh yang dimakamkan adalah Syekh Khotim. Beliau adalah kepercayaan Sunan Kalijaga.
Hutan lindung di kawasan petilasan Sunan Kalijaga, ditumbuhi beberapa jenis pohon besar, seperti bebang, repilang, rengas, dan albasia. Kerimbunan pepohonan ini mendominasi pemandangan. Pada rindangnya pepohonan tersebut dihuni sekitar 77 ekor kera buntut panjang. Pada pagi hari mereka turun, dan duduk berbaris di tepi kali. Kera-kera ini akan turun, jika ada pengunjung, terutama yang terlihat membawa makanan.
Tradisi setempat meyakini bahwa kera-kera tersebut berasal dari jelmaan pada pengikut Sunan Kalijaga yang tidak mematuhi ajaran Rasulullah. Uniknya kera-kera tersebut seakan-akan mengerti akan batas wilayah mereka. Kera-kera dari kelompok selatan tidak mau membaur dengan kera-kera dari kelompok utara dan begitu pula sebaliknya.
Pada waktu-waktu tertentu, merekapun terlibat dalam tawuran. Mereka berteriak-teriak seakan-akan saling mengejek lalu baku hantam dan baku gigitpun terjadi. Tidak jarang perkelahian antar kelompok ini dapat menimbulkan kematian yang tragis.
Situs Taman Kera dan Petilasan Sunan Kalijaga di Cirebon ini diperkirakan sudah ada mulai abad ke-17. Masyarakat setempat mempercayai bahwa situs ini merupakan petilasan Sunan Kalijaga ketika sang Sunan melaksanakan kegiatan penyebaran agama Islam di daerah Cirebon. Hutan Kalijaga merupakan satu-satunya wilayah konservasi hutan yang masih tersisa di Cirebon.
Hingga saat ini belum ada yang berani mencuri atau membawa kera-kera di hutan petilasan Sunan Kalijaga ini karena masyarakat percaya akan mendapat kualat atau mendapat sial. Menurut penjaga petilasan, Miskad (48 tahun), situs Kalijaga tersebut ramai dikunjungi warga pada saat ngabuburit di bulan puasa.
“Hampir setiap hari ada rombongan peziarah dari luar kota seperti Jakarta, Bandung, bahkan dari pulau Jawa. Kalau pengunjung lokal biasanya hanya ramai berkunjung saat ngabuburit di bulan puasa,” katanya.